Menurut
aturan Tarekat Syattariyah, pelafalan dzikir dengan menyebut nama-nama
Allah SWT harus dilakukan secara berurutan. Artinya, terlebih dahulu
menyebut nama-nama yang berhubungan dengan keagungan-Nya, kemudian
diikuti dengan nama-nama yang berhubungan dengan keindahan-Nya, dan
nama-nama yang merupakan gabungan kedua sifat tersebut.
Proses ini dilakukan secara terus-menerus dan berulang-ulang hingga hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir.
Apabila hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan
realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.
Di
dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai
pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang
disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir
ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah
dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir
itu sebagai berikut:
1.
Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan
memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan
mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu
kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam
hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri,
tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2.
Dzikir nafi itsbat,
yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara
nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan
seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3.
Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
4.
Dzikir Ismu Dzat,
dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah
dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan
manusia.
5.
Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu,
Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke
dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar
pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
6.
Dzikir Tanazul,
yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur,
dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang
salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya
Ilahi.
7.
Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu
dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke
tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam
dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat
al-Mukminun ayat 17: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas
kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah
terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)”.
Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai
berikut:
1. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut:
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
2.
Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu
ini: enggan, acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu
kewajiban.
3. Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada
ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas
kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala
kesulitan.
4. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari
tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah,
tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
5. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.
6.
Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya:
berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan
makhluk.
7. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni;
a)
menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya,
seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain.
b) menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain.
c)
menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat
tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga jenis
dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang
disebutkan di atas.
Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan
berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam
berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat
merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun
ruhani.
Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam
tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai
melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syaikh.
Pembimbing spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan
yang membangkitkan semua realitas, tidak bersikap sombong, dan tidak
membukakan rahasia-rahasia pandangan batinnya kepada orang-orang yang
tidak dapat dipercaya. Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa
diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum
dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi
Muhammad Saw. lewat Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan
seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub;
dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk),
murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna
dan menyempurnakan). Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting
untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai
berikut: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal;
selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara;
setia terhadap guru atau syaikhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT;
selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di
suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh
kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari
pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat,
mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari
rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang
terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias
dan memakai pakaian berjahit.
Sanad atau Silsilah Tarekat Syattariyah
Sebagaimana
tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para
wasithahnya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah Saw. Para
pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw., atas petunjuk
Allah SWT, menunjuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. untuk mewakilinya
dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi
kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir
kepada putranya, Hasan bin Ali ra., dan demikian seterusnya sampai
sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas
garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar
kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah
jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi
Muhammad Saw. sebelum melimpahkan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib
ra.
Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Indonesia:
Nabi
Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina
Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam
Muhammad Baqir, kepada Imam Ja’far Syidiq, kepada Abu Yazid al-Busthami,
kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada
Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada
Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada
Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh
Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada Syekh
Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin
Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh
Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul
Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di
Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida’ (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di
Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai
Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi
(Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada
Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan),
kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman
(Tegalreja, Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo
Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan Ulama
(Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada
Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH
Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).